a girls

Chris yang sedang bersantai, melihat Handphone-nya berdering, ia mengangkatnya.
 “Hello? Vanessa?”
 “Ka Chris!!!!!!” pekik Gabby di ujung sana.
 “Gabby? Kenapa?”
 “Ka Nessa! Kakakku pingsan lagi!”
 Tuuuut, sambungan terputus. Chris menyambar jaketnya dan melesat pergi.

 *****
 Sementara itu, di bandara kota Atlanta…….
 Seorang pemuda berjalan keluar dari bandara, dibelakangnya ada wanita paruh baya yang berjalan mengikutinya, dan dibelakang wanita itu, ada pria bertubuh besar, bertato, berjalan mengikuti mereka berdua.
 Teriakan histeris perempuan di sekitar daerah bandara terdengar, pemuda itu bergegas memakai kacamata hitamnya dan menutupi kepalanya dengan hoodie, lalu masuk ke dalam mobil. That was close………, pikirnya. “Let’s go,” perintahnya kepada pria bertubuh besar tadi. Mobil pun melaju cepat, meninggalkan kerumunan fans yang histeris tadi.
 “Kemana, Justy?” tanya wanita yang tadi.
 “Rumah Chris, I miss my friends, mom.”
 Wanita yang dipanggilnya ‘Mom’ itu mengangguk. Pemuda itu menyenderkan kepalanya di bahu mamanya. “I can’t wait to see them, again……”

 *****
 Sementara Chris, terus mondar-mandir di lorong rumah sakit.
 Gabby duduk di kursi depan ruang ICU, terisak-isak.
 Chris menghampiri Gabby, “Sudaah, jangan nangis, Gab.”
 Gabby mendongak, matanya memerah. Dia menangis sepuasnya di bahu Chris. Gadis 11 tahun itu hanya bisa berdo’a dan menangis, dan menangis. Menderita leukemia bukanlah hal yang kabar yang menyenangkan di hadapan Gabriella. Khawatir karena nasib kakaknya yang malang itu, ia berusaha tetap tegar. Orangtua mereka berbeda masing-masing.
 Ibu mereka menjadi shock karena berita Vanessa, ia pergi ke Indonesia untuk bekerja dan tinggal di rumah almarhum orang tuanya bersama pembantu. Ayah mereka juga kaget akan keadaan Vanessa, ia bekerja di Amerika bersama anaknya juga, Robert.
 Selama 1 tahun, penyakit tersebut membuat tubuh Vanessa semakin lemah, sehingga ia izin sekolah, tapi karena tak mau ketinggalan pelajaran dan tes masuk kuliah, ia memaksakan dirinya untuk belajar. Sehingga, hari itu, penyakitnya kambuh…….

 *****
 Chris membenamkan wajahnya di tangannya. “Tuhaaaan, selamatkanlah Vanessa.....”

 *****
 Klek! Pintu ICU terbuka. Seorang suster menghampiri Chris.
 “Anda Christian Beadles?” tanyanya dengan sopan.
 “Yes?”
 Suster itu tersenyum, “Nona Vanessa ingin bertemu anda.”
 Semangat Chris naik, saat dia ingin membuka pintu, “Kau juga, Gabby.”
 Gabby tersenyum kecil, ia berjalan mengikuti suster kedalam ruang ICU.

 *****
 Sementara itu di rumah keluarga Beadles……
 “Dasar Chris, pergi ga pamit-pamit…..,” umpat Caity.
 Gadis Atlanta itu sedang membersihkan ruang tamu yang berantakan gara-gara Ryan dan Chaz yang nonton TV.
 “Bantuin!” teriaknya kepada dua remaja itu yang sedang bermain basket diluar. “Kita ‘kan tamu, Cait,” Ryan beralasan. “Kalian berdua tamu, aku tuan rumah,” jelas Caitlin dengan pelan. “Jadi kamu punya kumis?” tanya Chaz. “What?” tanya Caity dengan ekspresi kosong. “Tuan rumah—“ Chaz menunjuk Caitlin. “—kumis.” Ryan tertawa terkekeh. Kemarahan Caity meloncak. “BERSIHIN RUMAAAH!!!!!!” Dia menghampiri Chaz dan Ryan dengan sebuah palu super duper besar.
 Chaz dan Ryan membersihkan kekacauan yang mereka buat dengan langkah yang gontai, kepala mereka benjol dipukul dengan palu yang dipegang Caity. “SAMPAI BERSIH! GA ADA ISTIRAHAT!” sorak Caity, melambai-lambaikan palunya.
 Keduanya takut dengan Caitlin yang sedang murka, mereka menurut saja.

 *****
 Gadis cantik yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit, menatap Chris yang masuk. “Chriiiis……..,” lirihnya. “What? I’m here, Nessa.”
 “Aku ingin puulaaaang,” ucapnya lemah.
 “Kamu gaboleh pulang sebelum benar-benar sembuh.”
 “But—“
 “Kakak disini aja, yaaaa…..,” sambung Gabby.
 Vanessa mengelus pelan rambut adiknya, “Tapi aku merasa lebih baik.”
 “Jangan! Kakak pokoknya harus disini sampai kakak sembuh, titik ga ada koma!” paksa Gabby.
 “Sejak kapan kamu yang berkuasa, heh?”
 Gabby mengernyitkan keningnya. “Sejak kakak bikin Gabby khawatir.”
 Vanessa menyerah, “Okay, aku akan tetap disini.”

 *****
 Justin mengetok-ngetok pintu rumah keluarga Beadles, berharap seseorang membuka pintu itu.
 Laki-laki berambut ikal coklat membuka pintu itu, Justin merasa aneh karena ada benjolan aneh di kepalanya.
 Chaz menyipitkan matanya, “JUSTIN!”
 Ia segera memeluk teman lamanya tersebut. Justin tersenyum lebar. “Miss ya, too.” Ia menatap benjolan dikepala Chaz, “Umm……” Chaz mengerti, “Caity.”
 “Aah,” katanya. Justin pun masuk, ia disambut dengan lemparan bola basket dari Ryan dan dipeluk oleh Caitlin. Tapi, Justin merasa ada yang aneh, “Where’s Chris?”
 “Baru ngomongin tuh, bocah,” ledek Ryan.
 “Why?” tanya Justin, bingung.
 “Chris langsung kabur sehabis ngangkat telfon, dari mukanya, kayak-nya panik banget, deh,” komentar Caitlin.
 Justin hanya mengerutkan keningnya dan menggeleng-gelengkan kepala.

 *****
 Vanessa tertidur lelap, nafasnya sudah beraturan sekarang. Tapi menurut dokter, ia masih lemah. Chris beranjak dari tempat duduknya dan berjalan kea rah ranjang Vanessa.
 “Sleep tight, beauty.” Chris mencium keningnya. Dan dia mengelus rambut Gabby yang juga tertidur lelap di sofa ruang rawat. Disana sekitar 11.00 p.m.
 Dan dia pun pergi keluar.

 *****
 Chris terus saja memandangi foto seorang gadis yang sedang bermain ayunan, 1 tahun lalu. “Haaaah,” ia menghela nafas.
 Justin yang mengintipi Chris dari luar pintu semakin penasaran, ia sedikit mendorong pintu kamarnya, tapi lantainya agak licin, sehingga Justin jatuh.
 “Ouchh,” rintihnya.
 Sontak, Chris kaget. “Justin! Dasar tukang intip!”
 “Hehe.” Justin menatap foto yang dipegang Chris, secepat kilat, ia menyambar foto itu. “Wow, who’s her?” tanya Justin kagum.
 “A friend of mine,” jawab Chris agak kesal. “Where is she?”
 “Di rumah sakit.” Justin kaget, “Kenapa?”
 “Aku tak mau membahasnya. Dia sudah cukup menderita. Kau tak perlu tahu,” Chris beranjak dari duduknya. “C’mon tell me, I’m your best friend,” ujar Justin dengan nada agak manja. Chris kembali duduk, dengan risau ia menceritakannya. “Vanessa terkena leukemia.”
 Deg! Hati Justin bagai disambar petir.
 “Gadis secantik ini? Leukemia?” tanyanya tak percaya.
 Chris mengangguk, “Ya, terlalu cantik untuk terkena penyakit itu.”
 Ia terus menatapi foto itu, foto dimana Vanessa, masih dalam keadaan sehat dan bahagia.
 Tak terasa, setetes embun jatuh dari kelopak mata Chris.
 *****
 Justin menginjakkan kakinya di halaman rumahnya, rumput-rumput terlihat segar, embun pagi baru saja menutupi rumput-rumput tersebut. Dia mengambil bola basket dan mulai mendribel. Ia melempar bola tersebut kearah tiang, karena tak focus, bola itu memantul dan mengenai rambutnya yang coklat-keemasan itu.
 “Ouch,” rintihnya.
 Dia menggapai sesuatu di jaketnya. Foto. Seorang gadis asal Indonesia, bercampur darah orang Prancis. Vanessa.
 Justin terus, dan terus saja menatapi foto tersebut.
 “Justy! Ayo, sarapan dulu,” sahut Mom Pattie dari arah pintu belakang.
 Justin menaruh foto itu lagi di saku celananya, dan berjalan ke dalam rumah.

 *****
 Seperti bocah yang kelaparan, Justin meneguk jus jeruknya dan memakan pancake buatan Mom-nya sendiri. iPhone-nya berbunyi, dia mengambilnya di atas meja ruang tamu, saat Justin berjalan, sesuatu menyelip keluar dari kantong celananya, tapi dia tak sadar. Justin diam di ruang tamu, sepertinya telfon itu dari Scooter.
 Mom Pattie menginjak sesuatu, sebuah lembar kertas berwarna. Foto!
 Ia menyelidiki foto tersebut, “Who’s this girl?”
 Saat itu juga, Justin menutup telfonnya. “Mom!” larang Justin. “Why? Dia sangat cantik, pacarmu?” tanya Mom Pattie, menggoda Justin.
 Justin langsung memerah, “Bukan, bahkan aku tak pernah bertemu dengannya.” Dia menatap ke bawah. “Tapi, dia sepertinya Chris juga menyukainya…..,” lirihnya. “Dimana gadis ini? Mom ingin bertemu dengannya,” ucap Mom Pattie. “Ya, tapi—“ “Ayolah, Just. Mom ingin bertemu dengannya, sepertinya dia baik. Bisa dijadikan teman Mom,” candanya.
 Anak laki-lakinya menghembuskan nafas, “If you wish.”

0 komentar:

Design by Blogger Templates | Blogger Blog Templates